― Advertisement ―

Ujian Kualifikasi Doktor di Unair, Ketua DPD RI Tawarkan Gagasan Anggota DPR RI Juga Diisi Non-Partai

Surabaya, Wirafokus.com - Ada banyak gagasan yang telah dituangkan sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat demokrasi di Indonesia. Salah satunya adalah wacana mendorong lahirnya...
BerandaOpiniKERUHNYA KESUSASTRAAN DALAM GENGGAMAN POLITIK PRAKTIS

KERUHNYA KESUSASTRAAN DALAM GENGGAMAN POLITIK PRAKTIS

Oleh : Irfan Ibnu

Wirafokus.com – Kesustaraan sangat dibutuhkan dikala perdamaian dunia semakin terkikis. Kesusastraan menjadi peredam antara konflik manusia dengan mesin. Kesusastraan juga membawa suatu peradaban untuk memiliki identitas. Bahkan sosok Alfred Nobel sangat menghormati, sastrawan yang karyanya bernuansa kesetaraan seluruh makhluk hidup. Dalam lingkup kesusastraan, manusia yang berada dilingkarannya selalu mengumandangkan keberanian untuk menguak takbir kesejahteraan. Penyair yang bijak, selalu memproteksi akalnya dari intervensi politikus yang integritasnya melorot. Bermula dari kemurkahan adanya sikap politik praktis tersebut, J.F. Kennedy melahirkan sebuah kutipan “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.” Tidak dapat dipungkiri bahwa sastra merupakan akses pemulihan, untuk lumpuhnya suatu kebijakan dari hasil produk politik yang culas.

Menjalankan metode komunikasi politik melalui sebuah puisi, memang menjadi cara yang mujarat untuk membentuk suatu opini publik. Memompa elektabilitas capres dan cawapres, wujud puisi tersaji sebagai amunisi yang bersifat himbauan untuk menentukan arah pilihan. Kesusastraan larut dalam skema demokrasi, bagi politikus yang hanya mementingkan individu dan kelompoknya, sangat antusias untuk menulis sebuah puisi yang bertujuan untuk merobek keutuhan bangsa. Memproduksi karya puisi tanpa esensi, seorang politikus menjelma menjadi penyair gadungan.

Kesusastraan Tercederai

Dalam lingkup politik, siapapun dan barbagai cara apapun harus menunjuang kepentingan untuk terkabulkan. Menjelang pesta demokrasi yang digelar pada pertengahan April 2019 ini, kesusastraan menjadi amunisi untuk melucuti elektabilitas kompetitor politik. Bermunculan wujud puisi yang menikam persatuan bangsa, membelokkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, bahkan menyuntikkan sebuah doa dalam syair yang dibaca secara lantang. Sangat ceroboh dalam merangkai fikiran, yang menyelaraskan sebuah karya puisi dibalut dengan seruan ultimatum kepada Tuhan. Lenyap sudah estetika yang terkandung dalam sebuah puisi tersebut, bahasa nirwana seakan tergeser dengan sajak yang menghanyutkan akal sehat. Masa yang mendengar hanya sekedar menelan, tanpa meresapi apa yang terkandung dalam puisi tersebut. Kesusastraan tercederai oleh puisi yang berupaya untuk mangkaburkan optimisme rakyat.

Awas Hilang

Kehidupan penyair pada masa orde baru, memang sangat bermakna. Mandiri dalam berkaya, serta gemar menyuarakan rakyat cilik, sang penyair tiada hentinya diburu oleh penguasa. Diksi-diksi yang dipersembahkan seakan menggedor keras gerbang Istana, memberi pesan bahwa masih banyak praktik penindasan terhadap rakyat. Menyulam sajak-sajak yang berhaluan pro-demokrasi, pantang menyerah melawan kebobrokan pemerintah korup. Banyak sastrawan yang menjadi buruan pemerintah orde baru, adakalanya yang mendekam dibalik jeruji, diasingkan di Pulau Buruh, bahkan hilang identitasnya hingga kini. Sebaliknya bagaimana dengan wujud puisi yang dikumandangkan oleh penyair dadakan, yang hanya muncul menjelang pilpres ?.

Mufakat Dengan Pram

Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, sastrawan mati meninggalkan sajaknya. “Menulis adalah berkerja untuk keabadian” suatu penggalan kalimat bijak yang dilahirkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Para sastrawan sejati, selalu menjaga keutuhan bangsa Indonesia dari hasutan bengis yang berambisi untuk memecah belah bangsa. Merawat ideologi pancasila, sembari menggumamkan pesan damai untuk menjunjung kesejahteraan bangsa. Kelembutan hati yang membaur dengan pemikiran kreatif, secara konsisten terus merajut kemanusiaan melalui sajak-sajaknya. Kenapa harus mengadu ?, jika kebersamaan merupakan kemuliaan dalam kehidupan. Kenapa harus mengancam Tuhan ?, jika semua manusia telah hidup damai serta bersyukur atas rahmat-Nya. Penyair gadungan akan menjumpai, titik dimana sejarah akan menendangnya.